Senin, 05 Mei 2014

Pendakian Perdana Swiss Van Java (Mt. Papandayan)

Ini adalah pendakian pertama saya ke sebuah tempat yang bernama gunung, tepatnya gunung Papandayan. Sebuah gunung yang terkenal ramah treknya untuk pemula. Gunung ini terletak di Garut, Jawa Barat.



Jum'at, 18 April 2014
20.30 WIB

Setelah melalui proses perizinan dari orang tua saya yang sebenarnya tidak terlalu ketat, namun orang tua saya butuh penjelasan detail tentang rencana pendakian ini.
(Maklumlah, saya anak perempuan sulung). Akhirnya kami (saya dan Aa) segera melesat ke base camp tempat mukim anggota pramuka DKR Citeureup. Berbagai macam bayangan melesat di otak saya. "Saya nanti kuat ga ya?" "Kalau sakit/kedinginan, yang ada saya malah nyusahin orang!". Berbagai macam praduga negatif pun terbayang. Namun, satu tekadku "Saya pasti bisa!" Sekilas terlihat terlalu ambisius, tapi itulah prinsip keyakinan.

21.30 WIB
Suasana malam di bawah jembatan dekat tol jagorawi Citeureup terlihat ramai ketika perlahan-lahan  peserta pendakian bermunculan. Tak lama kemudian, bis yang kami tunggu akhirnya muncul. Carrier-carrier khas para pendaki pun memenuhi bagasi bus hanya dalam beberapa menit. Sekitar pukul 22.00 kami berangkat menuju arah Bekasi dilanjutkan ke Jakarta melalui Tol Cipularang, karena sebagian peserta ada yang menunggu di sana.

Perkenalan saya dengan beberapa teman-teman yang lain dimulai dari sini. Asal kalian tahu, saya paling bingung kalau baru punya teman baru, cari topik pembicaraan aja sampai mikir-mikir kaya mikirin pelajaran. But, it such a wonderful thing to have some new friends in the same time. Agak malu juga sebenarnya kalau dikaitkan dengan usia, karena para peserta yang ikut sebagian besar mahasiswa, pelajar SMA dan yang masih SMP juga ada. Bagaimana dengan saya, yahh usia saya hampir setara dengan pengurus tripnya. Not too bed! Kan jadi pada manggil Teteh. (Panggilan Kakak dalam bahasa Sunda).

Perjalanan di malam hari sangat menyenangkan karena menurutku waktu akan lebih cepat terlampui dengan tidur (emang kebluk!). Suara musik keras di dalam bus perlahan mengecil seiring waktu yang menunjukkan tengah malam. Lampu besar dalam bus dimatikan sehingga satu per satu mata pun mulai terpejam. Tinggalah abang supir, kenek dan beberapa orang saja termasuk pengurus trip yang masih terjaga.

Sabtu, 19 April 2014

Cisurupan-Garut 
04.00 WIB
Suasana dingin yang menusuk mulai terasa di kulit. Air pun terasa seperti es yang membeku. Rasanya saya hampir tidak ingin keluar dari bus. Saya dan Aa bergegas ke kamar mandi dekat masjid tak jauh dari tempat pemberhentian. Alangkah takjubnya saya, melihat pemandangan gunung yang ternyata bernama Cikuray menjulang tinggi dengan indah. Awalnya, saya kira itu adalah gunung Papandayan yang akan saya daki, namun pemandangan  menunjukkan Cikuray sepertinya lebih indah dari Papandayan. (Nah loh, pengen ke Cikuray jadinya mas bro.)

Kami istirahat sejenak sambil menunggu mobil bak yang akan membawa kami ke Camp David. Hampir setengah jam menunggu, mobil bak pun datang, sekitar delapan - sepuluh orang peserta beserta barang bawaan masing-masing dimuat dalam mobil ini. Beberapa meter perjalanan mulai dengan nyaman, namun jalan yang sepertinya tidak bersahabat dan menanjak membuat kami terutama para perempuan merasa kewalahan, kedinginan pula. Bayangkan saja, awal naik mobil, dengan enaknya teman-teman perempuan duduk dipinggiran mobil bak tanpa menghiraukan ajakan untuk duduk dalam bak mobil. Setelah seperempat perjalanan berlalu, tanpa disuruh tidak ada satu pun dari kami yang duduk di pinggiran lagi. Daripada nantinya jatuh, kan repot!


Camp David
05.00 WIB
Suasana sekitar Camp David
Ini adalah tempat di mana titik awal pendakian dimulai. Tempat ini lengkap dengan warung-warungnya. Setelah menunaikan shalat subuh, pukul  07.00 saya beserta rombongan memulai perjalanan dengan berdo'a bersama. Ritual yang wajib dilakukan agar selamat sampai kembali.

Perjalanan awal kami didominasi oleh trek bebatuan yang landai dan menanjak. Di tambah panas terik matahari yang mulai meninggi memaksa saya untuk membuka jaket walaupun udara masih terasa dingin. Pengurus rombongan pendakian kali ini saya rasa sangat sabar sekali, saya yang sengaja berjalan di barisan paling belakang, tahu betul rasa cape dan cepatnya jantung berdetak membuat kami lebih banyak berhenti untuk mengatur nafas  serta istirahat. 
Hayoo, yang paling belakang gunung apa?

Take a deep breath, nanjak!
Setelah trek bebatuan, trek jalan sempit dengan pemandangan hijaunya hutan dan lagi-lagi sedikit menanjak. Ingat ya, baru sedikit menanjak! Cukup mantap untuk pemula tapi tenang saja, kuncinya nikmati perjalanan. Remember, enjoy the journey not a destination. Saling menyapa dengan sesama pendaki lain yang lewat atau jalan bareng sepertinya sudah menjadi hal yang wajib dilakukan.
Perjalanan masih jauh.

Pondok Saladah
10.00 WIB
Menempuh perjalanan sekitar dua sampai tiga jam (perjalanan dengan durasi istirahat yang sering), akhirnya kami berada di Pondok Saladah. tempat dimana para pendaki take rest dengan mendirikan tenda. Agak shock juga sampai di tempat ini karena sudah ramai sekali dengan tenda-tenda. Persis seperti sedang ada acara perkemahan. Perjuangan mencari lahan untuk mendirikan tenda pun dimulai, kelimpungan juga karena kami mendapat tempat di pojok, enaknya tidak terlalu ramai tapi minusnya jauh dari sumber mata air. Istirahat sebentar, ehhh kami jadi pindah lagi ke tempat keramaian dekat dengan sumber mata air.

Pondok Saladah at Peak Season.


Ketika lima tenda didirikan, saya serasa orang terbodoh sedunia karena cuma bisa nonton para lelaki memasang tenda, dalam kata lain pengen bantuin tapi belum bisa. Emang sih, tidak ada perempuan yang ikut membantu, tapi pengen aja meringankan beban mereka. Aishhh...

Kegiatan menjelang siang diisi dengan santai. Akan tetapi saya dan beberapa teman yang lainnya memilih untuk memasak. Tidak seribet kaum pria yang sedang memasak nasi tapi tak kunjung matang-matang. Kami para perempuan pun memilih memasak air, cari jalan aman agar cepat makan siang karena perut sudah demo tidak karuan. Lagi-lagi air tak kunjung matang, ternyata apinya sudah lama padam. Sebagai perempuan, kami malah enak-enaknya ngobrol dan baru sadar setelah ditertawakan para pria karena mereka yang melihat api sudah padam dari tadi tapi malah sengaja tidak memberi tahu. Jadikan pelajaran, hai ladies!

14.00 WIB
Selesai istirahat, makan siang dan menunaikan ibadah, tak sabar rasanya saya ingin jalan lagi menuju trek selanjutnya. Namun, cuaca yang tidak bersahabat memaksa rombongan kami menunda jadwal pemberangkatan. Cuaca ketika kabut turun semakin tebal dan diakhiri dengan hujan lebat membuat kami meneduh di tenda masing-masing, hebatnya lagi kelompok di tenda saya memutuskan untuk tidur siang sejenak walaupun ujung-ujungnya saya tidak bisa tertidur pulas.
Tenda kami sebelum diterpa hujan

16.00 WIB
Cuaca mulai reda, rombongan saya bersiap-siap dan membawa barang seperlunya saja. Bermodal nekad, kami melewati jalan becek berlumpur dan jika salah melangkah maka kaki akan susah untuk diangkat bahkan yang memakai sendal pun bisa saja putus. Tak lama berjalan, saya bertemu dengan pendaki yang arahnya berlawanan alias dia arah pulang ke Pondok Saladah. Tak lama kemudian saya dan dia sedikit berbincang.

"Mau kemana mba?" Tanyanya
"Emm, gak tahu sih, tapi niatnya pengen naik". Ujar saya sambil membersihkan kaki.
"Sayang mba kalau naik sekarang viewnya gak dapet, cuma ada kabut aja, mending besok pagi aja".
"Iya mas, terima kasih"

Sedikit kecewa, ketika dia berkata seperti itu tapi kan besok pagi jadwalnya packing dan pulang. Beginilah tidak enaknya jika mengikuti pendakian seperti paket travel, tidak bisa semaunya, wajib mengikuti initary perjalanan sang empu. Lupakan! Saatnya menikmati perjalanan.

17.00 WIB
Hutan Mati


Tidak lama berjalan, kami sampai di Hutan Mati, kawasan ini menjadi berbeda pasca hujan turun, serasa segar dan basah. Tempat favorit untuk foto dalam berbagai pose. Didominasi oleh tanah kapur dan batang pohon-pohon mati berwarna coklat kehitaman-hitaman yang tidak berdaun namun masih berdiri kokoh. Licinnya jalanan ditempat ini karena hujan, tidak usah diragukan lagi.

Hutan mati kami lewati untuk jalan akses ke Tegal Alun yang konon puncaknya Gunung Papandayan. Trek dari Pondok Saladah didominasi becek dan berlumpur. Namun, trek Hutan Mati ke tegal Alun berbeda karena adrenalin semakin meningkat, detak jantung berpacu lebih kencang dan kewaspadaan pun lebih ditingkatkan. Bagaimana tidak, treknya menanjak dengan dasar tanah licin dan beberapa menit sebelim tiba di Tegal Alun, jalan semakin menanjak dengan kemiringan kira-kira 45 derajat dan jurang di sampingnya. Tips jalan seperti ini yaitu, jangan sering-sering menoleh ke atas karena akan semakin membuat kamu malas menanjak, fokuslah pada pijakkan kaki-kakimu. Tanpa tersadar, kamu akan cepat sampai.
With a man behind this journey.
Hutan mati pasca hujan.
17.30 WIB
Tegal Alun
Akhirnya, saya bisa melihat hamparan edelwies di sini. Dulu sih, harapannya ingin melihat edelwies di Gunung Gede-Pangrango karena aksesnya dekat dari rumah. Apalah daya, yang jauh dulu disambangi, yang dekat malah terlewatkan. Tegal Alun adalah tempat dimana hamparan edelwies tumbuh dan membuat para pendaki semakin  selfie dengan kameranya.


Enaknya rame-rame.


Benar ternyata, pemandangan di puncak gunung pada waktu berkabut hanyalah seperti asap, tidak ada samudera lautan. Hiks, sedih juga tapi lumayan terobati dengan banyaknya edelwies disepanjang mata memandang. Sekitar setengah jam berada di Tegal Alun, kami memutuskan untuk pulang karena cuaca perlahan semakin gelap seiring dengan bergantinya waktu menjadi malam.

Kami, sengaja berhenti sejenak sekaligus beristirahat dalam perjalanan pulang, menunggu waktu magrib berlalu. Perjalanan pulang di malam hari menuju Pondok Saladah terasa mencekam, selain suasana yang gelap ditambah tanah licin, ketika melewati hutan mati pemandu perjalanan kami sedikit bingung dengan rute jalanannya. Tiba-tiba, saya jadi berfikiran buruk bahwa kami akan tersesat. Terlebih stok air minum saya yang sudah habis.

20.00 WIB
Pondok Saladah
Tidak banyak yang dilakukan teman-teman dalam rombongan pasca perjalanan malam. Kebanyakan dari mereka langsung membersihkan diri (tapi bukan mandi yahh), beribadah, makan malam dan tanpa basa-basi masuk tenda untuk berganti pakaian serta tidur. Adapun saya, memilih nongkrong untuk menghangatkan perut dan badan dengan makan malam berupa pop mie panas yang membuat selera makan saya semakin nikmat.

Cuaca yang semakin malam membuat hawa dingin khas pegunungan terus menembus ke telapak tangan dan kaki saya. Sebagai pemula dan saya sangat sadar tidak tahan dingin. Saya telah melakukan beberapa strategi sebelum tidur agar tidak menggigil kedinginan.
1. Memakai pakaian tidur berbahan hangat dengan (kaos dan celan panjang).
2. Tempel salon pas di telapak kaki, tangan serta hidung. (Mengingat hawa dingin akan mulai menyerang menuju telapak tangan dan kaki, kalau hidung agar tidak pilek)
3. Berbalut satu kaos kaki (harusnya dua buah), dua sarung tangan dan kupluk. (Semuanya berbahan tebal)
4. Lapisan terakhir masukkan tubuh dalam sleeping bag dan tutup yang rapat. (Saya saat itu memakai sleeping bag model tikar tapi kalau mau lebih ampuh agar tubuh hangat sebaiknya gunakan sleeping bag model mumi, ga kebayang tuh susah gerak sepertinya)

Cara-cara yang telah saya paparkan ternyata ampuh menjaga tubuh dalam suhu normal walaupun kaki saya masih dingin karena cuma memakai satu stok kaos kaki, sedangkan  kaos kaki yang satu lagi demek. (rada basah gitulah). Oh, ya tiba-tiba tengah malam saya terbangun karena teman satu tenda kedinginan dan kakinya tidak bisa gerak. Setelah dilakukan perawatan oleh c Aa akhirnya dia bisa tidur juga. Oleh karena itu, jangan sepelekan alam, begadang ketika dipegunungan sangat tidak dianjurkan ditambah keluat tenda tidak terbalut sleeping bag.

Sabtu, 20 April 2014
09.00 WIB
Setelah packing dan acara masak-masak selesai (mengahabiskan makanan berat karena ingin pulang) kami berdo'a bersama berharap agar perjalanan selamat. Kalau naik gunung, perjalanan pulang adalah perjalanan yang saya suka. Treknya yang menurun tentu saja tidak akan membuat nafas menjadi berat dan cape. Perjalanan pulang ini lebih sebentar jarak tempuhnya dibandingkan dengan perjalanan pergi.


Perjalanan Pulang

Kami melalui Hutan Mati yang ternyata lebih indah pemandangannnya dibandingkan dengan kemarin. Cuaca cerah tentunya, yang membuat pemandangan lebih indah. Jika mengambil arah menanjak, maka kami akan menuju Tegal Alun. Namun it's the time to go home, jadi jalanan menurun berbatu yang kami tempuh dan sekitar satu sampai dua jam perjalanan kami tiba di Camp David, Horayyy!

Alangkah bahagianya, ada tukang cilok dan seketika terasa nikmat daripada Nasi Goreng, menu makan siang kali ini. Tukang rujak di Cisurupan membuat saya bertambah bahagia, serasa lebih puas makan karena tidak takut mules dan kelimpungan mencari kamar mandi seperti di gunung. (Ssstt, di gunung tidak ada kamar mandi).
Berpetualang di mobil bak di Cisurupan.

NB: Perjalanan pulang Garut - Bogor kami yang memakan waktu 10 jam, membuat kami pulang hampir larut malam sampai rumah masing-masing. Tetapi, inilah seni perjalanan walaupun capeknya tidak tanggung - tanggung, sumpah pengen naik gunung lagi! Salam Lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar